Monday, 28 February 2011

KEPADATAN


Kepadatan penduduk adalah jumlah rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya dinyatakan dalam jiwa/Km2. Menurut Sundtrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrghtsman & Deaux,1981), atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Kepadatan memperlihatkan banyak hal yang negative. Seperti ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darh, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu. Kepadatan juga menyebabkan agresifitas pada anak-anak dan dewasa atau menjadi sangat menurun bila kepadatan tinggi sekali. Jika kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesame anggota kelompok. Selain itu kepadatan juga mengakibatkan penurunan ketekunan pada pekerja yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Berdasarkan penelitian Bell (dalam Setiadi, 1991) dampak negative dari kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria bereaksi lebih agresif terhadap anggota kelompok, terhadap kepadatan rendah maupun tinggi. Wanita lebih menyukai anggota kepadatan yang tinggi.

Kategori kepadatan

Menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:

∆ Jumlah individu dalam sebuah kota,

∆ Jumlah individu pada daerah sensus,

∆ Jumlah individu pada unit tempat tinggal,

∆ Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,

∆ Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.

Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:

• kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang

• kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :

• Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;

• Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman,1975; Holahan,1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman,yaitu ;

• Lingkungan pinggiran kota, ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah

• Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah

• Lingkungan mewah perkotaan, kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luarnya tinggi

• Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tinggi.

Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :

· Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;

· Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman,1975; Holahan,1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman,yaitu ;

Ω Lingkungan pinggiran kota, ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah

Ω Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah

Ω Lingkungan mewah perkotaan, kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luarnya tinggi

Ω Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tinggi.

Taylor (dalam Gifford,1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Maka individu yang bermukim dipemukiman dengan kepadatan berbeda mungkin akan menunjukan sikap dan perilaku yang beRbeda pula.

AKIBAT KEPADATAN TINGGI

Menurut Sarwono, suatu keadaan akan dinyatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin padat pula bila disbanding dengan luas ruangan. Di tempat dimana penulis tinggal hal ini terjadi Karena tempat tersebut di nilai oleh sebagian orang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Stokols menyatakan bahwa density adalah kendala ruang (spatial constraint), sedangkan crowding adalah respon yang subjektif terhadap keadaan yang sesak. Kepadatan memang merupahan syarat mutlak untuk terjadinya sebuah kesesakan, tetapi untuk sebuah kesesakan bukan berarti adanya ssuatu kepadatan.

Menurut Altman, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social yaitu:
1.jumlah individu dalam sebuah kota.
2.jumlah individu pada daerah sensus.
3.jumlah individu pada unit tempat tinggal
4.jumlah ruang pada unit tempat tinggal.
5.jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.

Sedangkan kategori kepadatan menurut Altman yaitu :
1.kepadatan dalam ( inside density)
jumlah individu yang terdapat pada suatu ruang atau tempat tinggal.
2.kepadatan luar (outside density)
jumlah individu yang berada dalam wilayah tertentu.

Kategori kepadatan menurut Holahan yaitu :
1.kepadatan spatial
yang terjadi bila luas ruangan diubah menjadi lebuh kecil tetapi jumlah individu tetap. Yang terjadi kepadatan meningkat sejalannya menurunnya luas ruangan yang ada.
2.kepadatan social
terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi oleh penambahan luas ruang. Hal yang terjadi adalah kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis terhadap lingkungan dimana penulis tinggal kepadatan penduduk cukup terlihat dan lagsung dapat dirasakan sendiri dampak negative dari kepadatan itu sendiri. Karena rumah warga setempat yang terletak saling berdempetan sehingga memungkinkan antara tetangga mendengar pembicaraan yang terjadi di samping tempat tinggalnya. Sehingga kadang terjadi konflik kecil antar warga.selain itu tingkat kriminalitas di tempat penulis tinggal cukup tinggi. Tercatat ada beberapa kali kasus kemalingan seperti kendaraan bermotor, harta benda maupun tanaman hias. Hal tersebut terjadi karena kondisi dimana penulis tinggal kurang pencahayaan pada malam hari dan dekat dengan lokasi pasar yang cukup strategis untuk melakukan tindak criminal.

Akibat dari kepadatan yang tinggi menurut Hamistra dan Mc. Farling yaitu :
1.Fisik, seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah yang meningkat, dan lain sebagainya.
2.Akibat social, menyebabkan kenakalan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Manusiapun menampakan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan dan kesesakan. Holahan mencatat beberapa gejala sebagai berikut :
a.Dampak pada penyakit dan patologi social
1.reaksi fisiologik, misalya meningkatkan tekanan darah.
2.penyakit fisik, seperti psikosomatik dan meningkatnya angka kematian.
3.patologi social, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan tingkat kenakalan pada remaja.

b.Dampak pada tingkah laku social
1.Agresi
2.menarik diri dari lingkungan social
3.berkurangnya tingkah laku menolong
4.cenderung lebih banyak melihat sisi buruk dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lainitu jika berada dalam tempat yang padat dan sesak.

c.Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1.hasil usaha dan prestasi kerja menurun
2.suasana hati cenderung lebih murung.

Mata pencaharian yang dilakukan penduduk setempat beragam mulai dari pegawai negeri sipil, pegawai swasta, pedagang dan lain sebagainya. Padatnya lahan di sekitar lingkungan tempat tinggal penulis sama sekali tidak meninggalkan tempat lapang untuk lahan bermain anak-anak.sehingga keselamatan anak terancam karena mereka terpaksa main di pinggir-pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan-kendaraan bermotor lalu-lalang. Banyaknya kendaraan bermotor yang lalu-lalang didak lepas meninggalkan dampak negative bagi lingkungan ini antara lain polusi udara dan kebisingan yang ditimbulkan dari mesin kendaraan tersebut.

Menurut Holahan, polusi udara dan suhu yang tinggi dapat menimbulkan menurunnya kesehatan seperti timbulnya penyakit pernafasan dan infeksi saluran pernafasan. Juga dapat menimbulkan efek perilaku yaitu seseorang dalam temperature yang tinggi memiliki penilaian yang tidak jelas. Ada tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu :

3.Volume, suara yang semakin keras dirasa akan semakin mengganggu.
4.Perkiraan, jika kebisingan dapat diperkirakan datangnya bunyi teratur maka kesan gangguan yang timbul akan lebih kecil dibanding suara yang datangnya tiba-tiba.
5.Pengendalian, bising atau tidak terganggu dari bagaimana kita mengaturnya.


Sumber :

Faqih. 2009. Karya tulis psikologi.http://elearning.faqih.net/2009/12/karya-tulis-psikologi-lingkungan.html. Diakses tanggal 26Februari 2011

Ichbello. 2010. Kepadatan.http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density.html. Diakses tanggal 28 Februari 2011.

Friday, 18 February 2011

Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan

A. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan

1. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula. Vetich dan Arkellin ( dalam Helmi, 1999). Dengan demikian dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi.

Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi dalam suatu sistem, artinya ketika keseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Dalam hal ini adaptasi merupakan suatu proses modifikasi kehadiran stimulus yang berkelanjutan. Semakin sering stimulus hadir, maka akan terjadi pembiasaan secara fisik yang disebut sebagai habituasi dan terjadi pembiasaan secara fisik yang disebut adaptasi. Dikatakan Helmi (1995) bahwa ketika seorang mengalami proses adaptasi, perilakunya diwarnai kontradiksi antara toleransi terhadap kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan sehingga orang akan melakukan proses pemilihan dengan dasar pertimbangan yang rasional antara lian meminimalkan biaya.

2. Teori Ekologi (Echological Theory)

Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem menurut Hawley (dalam Helmi, 1999), yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut:

a. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan

b. Interaksi timbale balik yang menguntungkan antara manusia – lingkungan

c. Interaksi manusia – lingkungan bersifat dinamis

d. Interaksi manusia – lingkungan terjasi dalam berbagai level dan tergantung dengan fungsi.

Salah satu teori yang didasarkan atas pandangan ekologis adalah behavior setting) (setting perilaku) yang dipelopori oleh Robert Barker dan Alan Wicker. Premis utama dari teori ini organism environmental fit model yaitu kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang diakomodasikan dalam lingkungan tersebut. Oleh karenanya dimungkinkan adanya pola – pola perilaku yang telah tersusun atau disebut dengan program yang dikaitkan dengan setting tempat. Teori ini kurang mempertahankan proses psikologis dari perbedaan individual dan lebih menekankan uniformalitas atau perilaku kolektif. Hubungan antara manusia – lingkungan lebih dijelaskan dari sisi sifat atau karakter istik sosial seperti kebiasaan, aturan, aktivitas tipikal, dan karakteristik fisik. Dengan mengetahui setting tempat maka dapat diprediksikan perilaku / aktivitas yang terjadi.

3. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan

Terdapat dua pendekatan yaitu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik (kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya dalam orientasi phenomenology yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.

Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.

Pertanyaan untuk mempolakan dimensi dasar dalam lingkungan fisik, seperti cahaya dan suara, sebagai sumber dan perilaku belum terlalu serius diperhitungkan. Dan yang lebih penting adalah signifikansi makna, pengertian, dan proses kognitif sebagai level lain yang berpengaruh terhadap perilaku (sebagai yang sangat penting dalam pendekatan phenomenological) sampai kini belum terdefinisikan. Pendekatan phenomenological untuk lingkungan adalah merupakan pendekatan yang tidak hanya melihat hal itu berlangsung begitu saja namun lebih kepada ‘bagaimana mengalaminya’ seperti yang pertama kali dikatakan oleh Kofka dalam “Lingkungan perilaku” (1935) dan terakhir dikembangkan oleh Lewin’s dalam teori tentang ruang hidup (1936).

Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain :

1. Adaptational Focus, Fokus penekanan pendekatan ini pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik.

Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :

a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia

b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.

c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)

2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan interdisiplin keilmuan. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif

Observasi Partisipatif

Observasi partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya.

Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Teknik ini sudah lama dilakukan oleh pengamat antropologi dalam kegiatan ilmiahnya. Dengan demikian keilmiahan pengamatan psikologi sosial ini dapat mengeliminir pendapat “ terjadi dengan sendirinya”.

4. Metode Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

a. Eksperimen Laboratorium

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Maksudnya adalah bahwa setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen. Bahkan dengan cara ini dijamin bahwa subjek penelitian dalam suatu kondisi tertentu memiliki peluang yang sama dengan subjek yang sama pada setiap kondisi eksperimen. Dengan cara ini variasi-variasi individu pada subjek penelitian dapat dijadikan alasan adanya perbedaan hasil penelitian, serta adanya kepercayaan yang lebih besar untuk menyimpulkan bahwa hasil penelitian adalah manipulasi-manipulasi dari variabel bebas.

b. Studi Korelasi

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.

Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat. Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan beragam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi ia tidak dapat memberi pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Barangkali keduanya disebabkan oleh faktor lain yang ketiga seperti kurangnya pendidikan atau kemiskinan (Veitch dan Arkkelin, 1995).

c. Eksperimen Lapangan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.

Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan seharusnya tidak hanya mengembangkan teori-teori dan mengamati dengan cermat hal-hal yang menjadi minatnya, akan tetapi ia juga harus menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis akhir, seorang peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian dan kemudian memilih metode yang palaing layak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

Kesimpulan

Beberapa asumsi dapat membuat jelas mengenai beberapa pendekatan, paling tidak terhadap kedudukan tentang pengetahuan psikologi lingkungan dalam hubungannya dengan ruang. Yang lainnya adalah membawa kita kembali pada suatu pendapat bahwa proses lingkungan total dapat dan harus dipelajari dari berbagai sudut pandang dan beragam tingkatan analisa. Ini berati hanya dengan pendekatan keilmuan multi disiplin akan bisa didapatkan teori yang berkembang dalam ilmu psikologi lingkungan (sebagai suatu pengetahuan yang sangat bermanfaat).

Daftar Pustaka

Anonim, Pendekatan teori dan metode penelitian psikologi lingkungan. http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Hadinugroho, Dwi Lindarto. Pengaruh lingkungan fisik pada perilaku : suatu tinjauan arsitektural. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1306/1/arsitektur-dwi2.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Tuesday, 15 February 2011

Kontribusi Psikologi Lingkungan terhadap Kehidupan Manusia

BAB I

PENDAHULUAN

Pada kenyataannya, psikologi lingkungan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kehidupan manusia. Manusia banyak mengambil manfaat dari lingkungan. Mereka memerlukan tempat tinggal yang aman, nyaman, dan memberikan privacy, tempat kerja dan alat – alat yang memungkinkan manusia bekerja optimal, alat pengangkutan yang cepat, tempat – tempat rekreasi, dan sebagainya yang sering kali mengabaikan kepentingan lingkungan. Bagaimana keseimbangan antara keduanya dijaga, itulah salah satu kontribusi psikologi lingkungan.

BAB II

Tinjauan Pustaka

1. Pengertian psikologi lingkungan

Sangat menarik untuk membahas tentang kontribusi psikologi lingkungan terhadap kehidupan manusia. Namun sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu psikologi lingkungan. Menurut Bell dkk. (dalam Sawono, 2005) psikologi lingkungan adalah hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan fisiknya, baik yang buatan maupun yang alamiah. Pengertian serupa juga dijelaskan oleh Helmi (1999) yang menyatakan bahwa psikologi lingkungan merupakan ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Heimstra dan Mc Farling (dalam Prawitasari, 1989) juga menyatakan psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik.

Sementara itu Wibowo (2009) menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang menggabung - gabungkan dan menganalisis transaksi serta tata hubungan dari pengalaman serta tindakan manusia dengan aspek-aspek dari lingkungan sosiofisiknya yang terkait.

Emery dan Tryst (dalam Soesilo, 1989) melihat bahwa hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadi ketergantungan satu sama lain. Hal ini hampir sama dengan pendapat Guilford, yaitu manusia mempengaruhi lingkungannya. Untuk selanjutnya lingkungan akan mempengaruhi manusia, demikian pula terjadi sebaliknya. Veitch dan Arkkelin (1995) mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidisplin yang memiliki orientasi dasar dan terapan, yang memfokuskan interrelasi anatar perilaku dan pengalaman manusia sabagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial.

Jadi dapat disimpulkan bahwa psikologi ligkungan adalah ilmu yang mempelajari transaksi antara individu dengan lingkungan. Misalnya bagaimana pengaruh desain fisik (ruang atau bangunan) terhadap aspek-aspek psikologis, seperti persepsi, kognisi, relasi sosial, perilaku abnormal, dan lainnya.

2. Kontribusi psikologi lingkungan bagi kehidupan manusia

Ada banyak hal yang telah dilakukan psikologi lingkungan dalam memberikan kontribusinya terhadap kehidupan manusia, diantaranya adalah:

a. Sebagai solusi dalam pemecahan masalah.

Seperti bagaimana caranya agar mesyarakat dapat memanfaatkan air sungai (misalnya untuk keperluan industri) dengan tetap menjaga kebersiha dan debitnya, bagaimana orang dapat tetap merasa sejuk dalam ruangan dengan menggunakan pendingin udara yang hemat energi, dan bagaimana mengurangi pertumbuhan penduduk agar tidak melampaui daya dukung sumber alam.

b. Mempelajari proses kognisi manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.

Misalnya mengapa orang lebih lebih mudah menghafal peta lingkungannya atau mempunyai peta kognitif di wilayahnya sendiri dari pada di tempat yang asing. Mengapa orang Jakarta tidak merasa sesak tinggal di daerahyang sangat padat, sementara orang dari luar Jawa tidak betah di Jakarta karena merasa sesak.

c. Meningkatkan kesehatan masyarakat.

Seperti menghentikan kebiasaan merokok, mencegah AIDS, mnegurangi kecemasan dan meningkatkan prognosis yang positif setelah pembedahan serta memberikan alternatif psikologi lingkungan terhadap program – program kesehatan yang selama ini hanya mengandalkan pendekatan medis.

d. Membantu dalam membuat desain lingkungan yang nyaman.

Misalnya mengatur perancngan, arsitektur, prasarana, tata kota, peta bumi dll yang disesuaikan dengan psikologi orang – orang yang akan menghuni, bekerja atau memanfaatkan lingkungan tersebut.

3. Teori psikologi Lingkungan

a. Teori Gestalt

Teori – teori yang berorientasi deterministik lebih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena kognisi lingkungan. Dalam hal ini, teori yang digunakan adalah teori gestalt. Menurut teori gestalt, proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting dari pada mempelajari perilaku yang tampak (overt behaviour). Bagi gestalt perilaku manusi lebih disebabkan oleh proses – proses persepsi. Dalam kaitannya dengan psikologi lingkungan, maka persepsi lingkungan merupakan salah satu aplikasi dari teori gestalt.

b. Teori Behavoristik

Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh behavioristik. Perilaku terbentuk karena pengaruh umpan balik (pengaruh positif dan negatif) dan pengaruh modeling. Dilukiskan bahwa manusia sebagai black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja. Dalam psikologi lingkungan, teori yang berorientasi lingkungan, salah satu aplikasinya adalah geographical determinant yaitu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan faktor lingkungan di mana manusia hidup yaitu apakah di pesisir, di pegunungan, taukah di daratan. Adanya perbedaan lokasi di mana tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda.

Kedua orientasi tersebut bertentangan dalam menjelaskanperilaku manusia. Orientasi ketiga merupakan upaya sintesa terhadap orientasi pertama dan kedua. Premis dasar dari teori ini menyatakan bahwa perilaku manusia selain disebbakan faktor lingkungan,juga disebabkan faktor internal. Artinya manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat dipengaruhi oleh manusia. Salah satu teori besar yang menekankan interaksi manusia – lingkungan dalam psikologi adalah teori medan dari Kurt Lewin dengan formula B=F(E,O). Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme.

c. Teori Beban Lingkungan (Environmental – Load Theory)

Premis dasar dalam teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi. Menurut Cohen (dalam Helmi, 1999) ada 4 asumsi dasar teori ini adalah:

1) Manuis mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi.

2) Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, proses perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.

3) Ketika stimulus sedang berlangsung, dibutuhkan respon adaptif. Artinya, signifikasi stimulus akan dievaluasi melalui proses pemantauan dan keputusan dibuat atas dasar respon pengatasan masalah. Jika stimulus yang merupak stimulus yang dapat diprediksi dan dapat dikontrol, stimulus tersebut semakin mempunyai makna untuk diproses lebih lanjut. Tetapi jika stimulus yang masuk merupakan stimulus yang tidak dapat diprediksi atau tidak dapat dikontrol, perhatian kecil atau mungkin pengabaian perhatian akan dilakukan.Akibatnya, pemrosesan informasi tidak akan berlangsung.

4) Jumlah perhatian yang diberikan sesorang tidak konstan sepanjang waktu, tetapi sesuai dengan kebutuhan.

d. Teori Hambatan Perilaku (Behaviour Constraints Theory)

Premis dari teori ini adalah stimulasi yang berlebihan atau tidak diinginkan, mendorong terjadinya arousal atau hambatan dalam kapasitas informasi. Akibatnya orang merasa kehilangan kontrol terhadap situasi yang sedang berlangsung. Perasaan kehilangan kontrol merupakan langkah awal dari teori kendala perilaku.

Istilah “hambatan” berarti terdapat sesuatu dari lingkungan yang membatasi apa yang menjadi harapan. Hambatan dapat muncul, baik secara aktual dari lingkungan ataupun interpretasi kognitif.

Averyl (dalam Helmi, 1999) bahwa ada beberapa tipe kontrol terhadap lingkungan yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol lingkungan. Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan misalnya mengurangi suasana yang bising, membuat jalan tidak berkelok – kelok, membuat tulisan atau angka dalam tiap lantai di gedung yang bertingkat, atau membuat pagar hidup untuk membuat nuansa ramah lingkungan. Kontrol kognitif dengan mengandalkan pusat kendali di dalam diri, artinya mengubah interpretasi situasi mengancam menjadi situasi penuh tantangan. Kontrol kepuasan, dalam hal ini orang yang mempunyai kontrol terhadap alternatif pilihan yang ditawarkan. Semakin besar kontrol yang dapat dilakukan, akan lebih membantu keberhasilan adaptasi.

Teori kendala perilaku iini banyak dikembangkan oleh Altman. Konsep penting dari Altman (dalm Helmi, 1999) adalah bagaimana seseorang memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh. Dinamika psikologis dari privasi merupakan proses sosial antara privasi, teritorial, dan ruang personal. Privasi yang optimal terjadi ketika privasi yang dibutuhkan sama dengan privasi yang dirasakan. Privasi yang terlalu besar menyebabkan orang merasa terasing. Sebaliknya, terlalu banyak orang lain yang tidak diharapkan, perasaan kesesakan (crowding) akan muncul sehingga orang merasa privasinya terganggu.

e. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah meaupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku optimal pula. Dengan demikian teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi. Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi dalam suati sistem, artinya ketidakseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Dalam hal ini, adaptasi merupakan suatu model modifikasi kehadiran stimulus yang berkelanjutan.

Salah satu teori beban lingkungan adalah teori adaptasi stimulasi yang optimal leh Wohwil (dalam Hemli, 1999) menyatakan bahwa ada 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan yaitu:

a. Intensitas. Terlalu banyak orang atau terlalu sedikit orang di sekeliling kita, akan membuat gangguan psikologis. Terlalu banyak orang menyebabkan perasaan sesak (crowding) dan terlalu sedikit menyebabkan orang merasa terasing (socialisolation).

b. Kenekaragaman. Keanekaragaman benda atau manusia berakibat terhadap pemrosesan informasi. Terlalu beraneka membuat perasaan overload dan kekurangaanekaragaman membuat perasaan monoton.

c. Keterpolaan. Keterpolaan berkaitan dengan kemmpuan memprediksi. Jika suatu setting dengan pola yang tidak jelas dan rumit menyebabkan beban dalam pemrosesan informasi sehingga stimulus sulit diprediksi, sednagkan pola – pola yang sangat jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi.

BAB III

PENUTUP

Jadi dapat disimpulkan bahwa kontribusi psikologi lingkungan antara lain sebagai solusi dalam pemecahan masalah, mempelajari proses kognisi manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, meningkatkan kesehatan masyarakat dan membantu dalam membuat desain lingkungan yang nyaman.

Psikologi lingkungan sebagai salah satu cabang psikologi, belum mempunyai grand theories dan teori yang sudah ada saat ini masih dalam tataran teori mini. Saalh satu upaya yang dapat dilakukan para peneliti dalm mengkaji hubungan manusia dengan lingkungan, dibuat suatu model dengan memperhatikan karakteristik lingkungan fisik dan manusia.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. Pengantar psikologi lingkungan http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. http ://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Mulandari, Nunuk. Ruang lingkup psikologi. http://images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Wibowo, Istiqomah. 2009. Pola perilaku kebersihan : studi psikologi lingkungan tentang penanggulangan sampah perkotaan. Jurnal Sosial Humaniora.Vol.13.Hal 37-47.

Sarwono, Sarlito wirawan. 2005. Psikologi sosial : psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka